WOI… DASAR PEMALAS!
Oleh : A. Muh. Qadri
Pagi
yang indah. Ayam-ayam berkokok sangat keras seakan beradu dan tak mau kalah
dengan gerombolan burung yang sedang menyanyi. Namun, berbeda dengan Dani yang
masih sibuk dengan lautan yang ada di mulutnya yang sewaktu-waktu dapat menjadi
tsunami.
Dani
tersentak kaget ketika melihat jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul 07.05. Ia teringat bahwa hari ini adalah hari
dimana kerja kerasnya belajar selama tiga tahun akan ditentukan. Hari ini
adalah hari diadakannya UN atau ujian nasional. Dengan wajah yang cemas Dani
segera berlari menuju kamar mandi yang sudah menganggur sejak kemarin.
Mengingat Dani adalah anak yang memiliki jadwal yang padat sampai-sampai ketika
pulang ia tak sempat untuk mandi.
Hari
ini adalah hari yang tidak pernah dibayangkan oleh Dani. Ia mungkin harus
terlambat mengikuti UN apalagi harus mengikuti ujian susulan.
Sarapan
yang berada di meja makan diabaikan begitu saja oleh Dani. Dani segera
mengeluarkan motornya lalu berangkat secepatnya. Dani hanya sempat mencium
tangan kedua orang tuanya. Menurutnya, mencium tangan orang tua sebelum ke
sekolah adalah ritual wajib yang harus dilaksanakan. Jika tidak dilaksanakan,
akan mendapat dosa dan jika dilaksanakan, akan berpahala.
Dani
yang sedari tadi memacu motornya mendapat shock
terapy. Lagi-lagi ia tidak dapat memprediksi jalan akan sepadat ini.
Padahal jalan ini selalu lenggang pada hari-hari biasa.
”Pak,
di depan ada apa ya, Pak? Kenapa macetnya sampai separah ini?”,tanya Dani
kepada seorang PJR yang berada di trotoar jalan di sampingnya.
“Di
depan ada kecelakaan truk”, jawab petugas itu sambil mengatur kendaraan yang
sedang berdempetan.
Mengapa
macetnya terjadi hari ini? Kenapa bukan kemarin, minggu depan atau bulan depan?
Batinnya. Ia melihat jam tangannya yang menunjukkan angka 07:20.
“Wah..kalau
begini, saya bisa terlambat”, kata Dani sambil menepi dan memarkir motornya di
trotoar jalan.
Dani
berpikir bahwa berlari merupakan jalan terbaik saat ini mengingat sekolahnya
yang hanya berjarak kurang dari 1 kilometer dari jalan itu. Dengan semangat
juang yang tinggi bagai seorang atlit yang berlaga di Sea Games, akhirnya ia sampai di sekolah. Dani melirik jam
tangannya, pukul 07.45. UN dimulai 15 menit lagi.
Dani
bergegas mencari ruangannya. Butuh waktu lama untuk mencari ruangannya karena
ternyata bukan yang menjadi peserta UN di sekolah itu bukan hanya siswa dari
sekolahnya, ada juga dari sekolah lain.
“ah..ini
dia”, sorak Dani yang berhasil menemukan ruangannya.
“kringgggggggggg....”,bunyi
bel sekolah tanda UN akan dimulai.
“Siapkan
kartu ujian dan alat tulis kalian”, kata salah satu pengawas di ruangan Dani.
Dada
Dani tiba-tiba sesak. Jantungnya berdetak 10 kali lebih cepat dari detak jarum
jam. Aarrggggghhh.... . ingin rasanya ia teriak sekencang-kencangnya. Bagaimana
tidak? Bisa-bisanya ia melupakan hal yang sangat mendasar dan penting seperti
ini. Ia melupakan ranselnya yang berisi kartu ujian dan alat tulisnya. Apa yang
harus ia lakukan saat ini? Haruskah ia pulang mengambil ranselnya? Atau ia
pasrah dan mengikuti ujian susulan?
“Pak,
saya minta izin sebentar”, tanpa menunggu jawaban dari pengawas, Dani kemudian
berlari menuju tempat parkir. Ia berusaha bergerak secepatnya. Dani masih
mencari dimana ia memarkir motornya. Ia terus mencari. Mengapa tempat parkir
ini terasa lebih luas dari biasanya. Aneh.., pikirnya.
Akhirnya
Dani putus asa. Tenaga dan pikirannya telah terkuras habis. Ia tak dapat
berpikir apa-apa lagi sampai akhirnya ia ingat bahwa pagi tadi ia memarkir
motornya di trotoar jalan karena macet.
“Hah..! kenapa aku bisa lupa. Dasar bodoh!”, Dani
menyesali dirinya sendiri.
“Masih bisa”, seru Dani setelah melihat jam tangannya menunjukkan pukul 07.57. Artinya, Dani masih memiliki waktu
sekitar 3 jam untuk kembali ke rumah.
Tanpa berpikir panjang, Dani berlari kembali ke trotoar
jalan tempat ia memarkir motornya. Di perjalanannya, ia melihat jalanan telah
kosong seakan hari ini adalah hari raya Nyepi di Bali. Suatu pembodohan.
“Tadi macet, sekarang kosong. Hah..sial”, seru Dani.
Tadinya ia ingin naik angkot
supaya tidak menyita waktu. Tetapi, tak satupun roda kendaraan yang
dijumpainya di jalan itu. Ia terus
berlari. Dani merasa bahwa
jalanan ini lebih panjang dari sebelumnya. Ia masih berlari. Tenaganya sudah
hampir habis, namun rumahnya masih belum nampak. Kepalanya pusing dan terasa
sakit namun itu tak menyurutkan semangatnya untuk terus berlari.
“Haaaahhhhhhhhh……,”Teriak Dani.
Dani terjatuh ke dalam lubang besar yang tidak dia lihat
sebelumnya. Dani terjatuh sangat lama dan belum sampai pada dasar lubang.
“Lubang macam apa ini?”, Pikirnya.
Saat itu Dani mendengar suara adzan. Aneh… ada orang
adzan di lubang?
Setelah adzan selesai, ia lalu mendengar suara kakaknya
yang memanggil-manggil namanya..
“Dani…Dani…Dani….” teriak
kakaknya
Akhirnya ia merasa seperti
tercebur ke dalam air.
“Woii… bangun. Ini sudah subuh, dasar
pemalas Pergi salat subuh sana” teriak kakaknya dengan wajah merah
kebiru-biruan seperti habis digebukin.
“Dasar kakak durhaka. Huh, sial”, kata Dani yang kesal dengan
sedikit rasa bersyukur.
“Hampir saja”, batinnya
***
No comments:
Post a Comment