Dalam kesempatan lain dan di tempat lain,
penceramah tersebut juga mengajukan pertanyaan yang sama kepada jamaah yang
hadir, “di mana Allah SWT?”. Ada seorang hadirin yang menjawab, “Allah ada di
mana-mana dan Dia ada di setiap tempat”, ada lagi yang mencoba untuk menjawab :
“Allah ada di hati kita”, Ada lagi yang lainnya mengatakan, “Allah tidak punya
tempat”, yang lain lagi mengatakan. “kita tidak boleh menanyakan hal itu”.
Allah SWT adalah Rabb yang haq dan wajib kita
ibadahi dan bahkan kita diperintahkan oleh-Nya secara rutin untuk melaksanakan
ibadah sholat sebanyak 5 kali sehari semalam sebagai bentuk penyembahan dan
pengabdian kita yang sangat agung kepada-Nya. Hal itu kita lakukan agar kita
tergolong sebagai hamba-Nya yang tauhid.
Dan juga setiap doa yang kita panjatkan dan
munajatkan kepada-Nya setiap ada waktu dan kesempatan, lalu kita tengadahkan
kedua tangan kita “ke atas” yang mengindikasikan bahwa Dzat yang kita sembah
adalah Maha Tinggi.
Masih banyak pemahaman aqidah kaum muslimin ini
yang perlu diluruskan, sebab mayoritas mereka tidak mengenal Allah SWT secara
benar, artinya aqidah mereka masih banyak yang menyimpang, hal ini terbukti
dari jawaban-jawaban mereka yang salah ketika menjawab pertanyaan yang terlihat
sederhana seperti; “di mana Allah SWT?”. Ini mengindikasikan bahwa aqidah kaum
musimin masih cukup memprihatikan dan
perlu adanya pembenahan.
Kekeliruan semacam ini sebagai akibat dari
informasi-informasi yang tidak bisa dipertanggung jawabkan yang ditiupkan oleh
manusia-manusia yang kurang paham dalam bidang aqidah, sehingga merusak fitrah
kaum muslimin.
Padahal untuk menjawab perrtanyaan “di mana
Allah SWT?,” tidak mesti seseorang itu berkapasitas sebagai seorang ulama,
sebab fitrah manusia yang masih suci akan mampu memberikan jawaban yang tepat. Sebagai
contoh adalah kasus di atas; dua anak kecil mampu memberikan jawaban yang benar
dan tepat ketika menjawab pertanyaan “di mana Allah SWT?”
Marilah kita simak pula sebuah hadits sahih
berikut ini, seorang sahabat Nabi yang bernama Mu’awiyah bin Hakam As-Sulamy,
dia memiliki seorang budak wanita yang ingin dia merdekakan, akan tetapi sebelum
dia dimerdekakan oleh Mu’awiyah, Rasulullah SAW mengajukan dua pertanyaan
kepada budak wanita tersebut. Rasulullah SAW berkata kepadanya: di mana Allah
SWT? Lalu, dijawab oleh budak wanita tersebut,”Allah SWT itu di langit”, lalu Nabi
bertanya lagi:”siapa saya ini?”, dijawab oleh budak wanita itu:”Engkau adalah
Rasulullah SAW”, setelah itu Nabipun bersabda:”merdekakan dia karena dia seorang
mukminah (yang beriman dan beraqidah secara benar)”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Jamaah Ahli
Hadits, diantaranya; Imam Muslim, Imam Malik, Imam Abu Daud, Imam Nasa’i, Imam
Ahmad, Imam Baihaqi, Imam Daarimi, Imam Ibnu Khuzaimah, dll.
Hadits ini merupakan hujjah (dalil) yang sangat
kuat untuk membantah orang-orang yang berkeyakinan bahwa Allah SWT ada di mana-mana dan berada di setiap tempat.
Hadits ini menerangkan dengan sangat jelas tentang keberadaan Allah SWT ”di
atas langit”.
Imam Adz-Dzahawi setelah membawakan hadits ini
di dalam kitanya: Al-‘Uluw”, beliau berkomentar:”yang demikian itulah pendapat
kami (artinya dia sejalan dengan hadits
di atas), setiap ada orang yang bertanya, “di mana Allah SWT?” maka dia dengan
fitrahnya akan segera menjawab ”Allah SWT di atas langit!”. Di dalam hadits ini
ada dua permasalahan: Pertama: Disya’riatkan seorang muslim bertanya
(kepada saudaranya), “di mana Allah SWT?”, Kedua: Jawaban orang yang
ditanya (hendaklah mngatakan), “di atas langit!”. Barangsiapa yang mengingkari
dua permasalahan ini maka dia berarti mengingkari Al-Mustafha (Muhammad).
Imam Ad-Darimi membawakan hadits ini dalam
kitabnya, Ar –Raddu ‘ala Al-Jahniyyah. Lalu beliau berkata: “di dalam hadit
Rasulullah SAW ini dijelaskan dengan terang, bahwa apabila seseorang tidak
mengetahui keberadaan Allah SWT yang berada di atas langit dan bukan di bumi,
maka dia bukanlah seorang mukmin. Tidakkah engkau perhatikan bagaimana
Rasulullah SAW telah menjadikan tanda keimanannya (budak perempuan) tersebut
adalah pengetahuannya tentang keberadaan Allah SWT di atas langit.
Penjelasan tentang istiwa’ (bersemayam) Allah
SWT di atas ‘Arsy di langit-Nya telah dditegaskan oleh Allah SWT sendiri di
tujuh tempat dalam Al-Quran; (1) S.Thaha ayat 5, (2)S.Al-A’raf ayat 54,
(3)S.Yunus ayat 3, (4)S.Ar-Ra’du ayat 2, (5)S.Al-Furqan ayat 59, (6)S.As-Sajdah
ayat 4 dan (7)S.Al-Hadid ayat 4.
Mazhab salaf dan orang-orang yang mengikuti
mereka, seperti iman yang empat: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i,
Imam Ahmad bin Hambal, dan iman-iman yang lainnya, termasuk imam Abul Hasan
Al-Asy’ary, mereka berkeyakinan sama dan mengimani keberadaan Allah SWT di atas
langit danbersemayam di ‘Arsy-Nya sesuai dengan kebesaran dengan keagungan-Nya.
Dalam kitab Minhaj Al-Firqah An-Najiah karya
Syaikh Muhammad Jamil Zainu Hafidzahullah, beliau menukilkan beberapa ungkapan
ulama dari kalangan As-Salafush Sholeh tentang keberadaan Allah SWT di atas ‘Arsy-Nya,
diantaranya:
Imam Al-Auza’iy, berkata, “ kami dari kalangan
tabi’in mengatakan; sesungguhnya Allah SWT yang Maha Mulia sebutan-Nya berada
di atas ‘Arsy-Nya, kami mengimani sifat-sifat-Nya sebagaimana apa adanya
menurut sunnah Rasulullah SAW.
Imam Abu Hanifah ra, berkata, “barangsiapa yang
berkata saya tidak tahu apakah Rabbku berada di langit atau di bumi, maka
sungguh dia bukan seorang muslim, karena Allah SWT sesungghunya telah
berfirman, artinya: Dzat Yang Maha Pengasih bersemayam di atas ‘Arsy, dan ‘Arsy-Nya
itu berada di atas langit yang ke tujuh, jika dia mengatakan; sesungguhnya Dia
(Allah) di atas ‘Arsy-Nya bersemayam, akan tetapi saya tidak tahu apakah ‘Arsy
itu berada di langit di bumi, maka dia juga bukan seorang muslim, karena
sesungguhnya dia telah mengingkari bahwa Dia (Allah) berada di atas langit. Dan
barangsiapa yang mengingkari keberadaan-Nya di langit,berarti dia telah kufur,
karena sesungguhnya Allah adalah adalah Dzat yang paling tinggi di atas segala
yang tinggi, dan para Hamba-Nya meminta (berdo’a) kepada-Nya dengan
menengadahkan tangan ke atas dan bukan ke bawah.
Imam Asy-Syafi’i, berkata, “ sesungguhnya Allah
berada di atas ‘Arsy-Nya di atas langit-Nya, Dia mendekatkan kepada
Makhluk-Nya, (bagaimanapun caranya sesuai dengan yang Dia kehendaki, dan
sesungguhnya Allah turun ke langit dunia (langit pertama), (bagaimanapu
carannya) sesuai dengan yang Dia kehendaki”.
Imam Malik, ketika beliau ditanya tentang
bagaimana caranya “istiwa”(bersemayam) Allah di atas ‘Arsy-Nya, beliau
menjawab: “istiwa”maknanya sudah jelas, sedangkan bagaimana cara Allah ber-istiwa
di atas ‘Arsy-Nya tidak dapat diketahui, beriman dengan sifat Istiwa’ Allah SWT
ini adalah wajib dan bertanya tentang hal itu (yaitu bagaimana cara Allah
ber-istiwa’ di atas’Arsy-Nya) adalah bid’ah. Lalu Imam Malik, memerintahkan
agar orang bertanya tersebut dikeluarkan dari majlisnya, sebab dia telah ragu
dengan salah satu sifat Allah SWT yaitu Allah SWT ber-Istiwa’ di atas ‘Arsy-Nya,
sedangkan hal itutidak pernah ditanyakan oleh generasi sebelum mereka.
Imam Ibnu Khuzaimah (beliau ini imamnya dari
para Imam), berkata, di dalam kitabnya At-Tauhid; “Kami beriman denagn
pemberitaan dari wahyu dari Allah SWT, sesungguhnya pencipta kami (Allah SWT),
Dia berada di atas ‘Arsy-Nya,kami tidak akan mengubah firman Allah tentang hal
ini, perkataan yang tidak pernah dikatakan oleh Allah kepada kami,(tidak)
sebagaimana kaum yang menghilangkansifat-sifat Allah sebagai kaum Jahmiyyah
yang telah berkata: sesungguhnya Allah Istaula (berkuasa) di atas ‘Arsy bukan
Istawa (bersemayam), mereka ini dengan lancangnya telah mengubah firman Allah
SWT yang tidak pernah diucapkan Allah kepada mereka, (sikap mereka seperti ini)
persis sebagaimana kaum Yahudi yang telah diperintahkan oleh Allah SWT untuk
mengucapkan perkataan: Hinthotun (gandum), seperti itulah kaum Jahmiyyah”. (Abu
Abdillah Dzahabi).
Sumber: An-Nur
No comments:
Post a Comment