Di mana Allah?

            Dalam suatu pengajian selepas sholat Isya menjelang sholat tarwih pada bulan Ramadhan 1426 H yang lalu di suatu masjid di daerah Depok, seorang penceramah melontarkan suatu pertanyaan kepada para hadirin yang hadir pada saat itu. Pertanyaan yang dilontarkan sangat simpel dan sederhana, “di mana Allah SWT?”. Mendengar pertanyaan yang belum pernah terdengar oleh para jamaah yang hadir tersebut, merekapun diam dan tidak terdengar ada jawaban. Lalu, penceramah tersebut mengulangi lagi pertanyaannya, “bapak-bapak, ibu-ibu, di mana Allah SWT?”. Setelah ditunggu beberapa saat tidak terdengar juga ada jawaban, namun tanpa disangka dan diduga dua anak kecil yang berada di shaf paling belakang dekat pintu masuk khusus kaum pria, mereka berdua dengan wajahnya yang sangat polos menjawab,”Allah di langit”.

Dalam kesempatan lain dan di tempat lain, penceramah tersebut juga mengajukan pertanyaan yang sama kepada jamaah yang hadir, “di mana Allah SWT?”. Ada seorang hadirin yang menjawab, “Allah ada di mana-mana dan Dia ada di setiap tempat”, ada lagi yang mencoba untuk menjawab : “Allah ada di hati kita”, Ada lagi yang lainnya mengatakan, “Allah tidak punya tempat”, yang lain lagi mengatakan. “kita tidak boleh menanyakan hal itu”.

Allah SWT adalah Rabb yang haq dan wajib kita ibadahi dan bahkan kita diperintahkan oleh-Nya secara rutin untuk melaksanakan ibadah sholat sebanyak 5 kali sehari semalam sebagai bentuk penyembahan dan pengabdian kita yang sangat agung kepada-Nya. Hal itu kita lakukan agar kita tergolong sebagai hamba-Nya yang tauhid.

Dan juga setiap doa yang kita panjatkan dan munajatkan kepada-Nya setiap ada waktu dan kesempatan, lalu kita tengadahkan kedua tangan kita “ke atas” yang mengindikasikan bahwa Dzat yang kita sembah adalah Maha Tinggi.

Masih banyak pemahaman aqidah kaum muslimin ini yang perlu diluruskan, sebab mayoritas mereka tidak mengenal Allah SWT secara benar, artinya aqidah mereka masih banyak yang menyimpang, hal ini terbukti dari jawaban-jawaban mereka yang salah ketika menjawab pertanyaan yang terlihat sederhana seperti; “di mana Allah SWT?”. Ini mengindikasikan bahwa aqidah kaum musimin  masih cukup memprihatikan dan perlu adanya pembenahan.

Kekeliruan semacam ini sebagai akibat dari informasi-informasi yang tidak bisa dipertanggung jawabkan yang ditiupkan oleh manusia-manusia yang kurang paham dalam bidang aqidah, sehingga merusak fitrah kaum muslimin.

Padahal untuk menjawab perrtanyaan “di mana Allah SWT?,” tidak mesti seseorang itu berkapasitas sebagai seorang ulama, sebab fitrah manusia yang masih suci akan mampu memberikan jawaban yang tepat. Sebagai contoh adalah kasus di atas; dua anak kecil mampu memberikan jawaban yang benar dan tepat ketika menjawab pertanyaan “di mana Allah SWT?”

Marilah kita simak pula sebuah hadits sahih berikut ini, seorang sahabat Nabi yang bernama Mu’awiyah bin Hakam As-Sulamy, dia memiliki seorang budak wanita yang ingin dia merdekakan, akan tetapi sebelum dia dimerdekakan oleh Mu’awiyah, Rasulullah SAW mengajukan dua pertanyaan kepada budak wanita tersebut. Rasulullah SAW berkata kepadanya: di mana Allah SWT? Lalu, dijawab oleh budak wanita tersebut,”Allah SWT itu di langit”, lalu Nabi bertanya lagi:”siapa saya ini?”, dijawab oleh budak wanita itu:”Engkau adalah Rasulullah SAW”, setelah itu Nabipun bersabda:”merdekakan dia karena dia seorang mukminah (yang beriman dan beraqidah secara benar)”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Jamaah Ahli Hadits, diantaranya; Imam Muslim, Imam Malik, Imam Abu Daud, Imam Nasa’i, Imam Ahmad, Imam Baihaqi, Imam Daarimi, Imam Ibnu Khuzaimah, dll.

Hadits ini merupakan hujjah (dalil) yang sangat kuat untuk membantah orang-orang yang berkeyakinan bahwa Allah SWT  ada di mana-mana dan berada di setiap tempat. Hadits ini menerangkan dengan sangat jelas tentang keberadaan Allah SWT ”di atas langit”.

Imam Adz-Dzahawi setelah membawakan hadits ini di dalam kitanya: Al-‘Uluw”, beliau berkomentar:”yang demikian itulah pendapat kami  (artinya dia sejalan dengan hadits di atas), setiap ada orang yang bertanya, “di mana Allah SWT?” maka dia dengan fitrahnya akan segera menjawab ”Allah SWT di atas langit!”. Di dalam hadits ini ada dua permasalahan: Pertama: Disya’riatkan seorang muslim bertanya (kepada saudaranya), “di mana Allah SWT?”, Kedua: Jawaban orang yang ditanya (hendaklah mngatakan), “di atas langit!”. Barangsiapa yang mengingkari dua permasalahan ini maka dia berarti mengingkari Al-Mustafha (Muhammad).

Imam Ad-Darimi membawakan hadits ini dalam kitabnya, Ar –Raddu ‘ala Al-Jahniyyah. Lalu beliau berkata: “di dalam hadit Rasulullah SAW ini dijelaskan dengan terang, bahwa apabila seseorang tidak mengetahui keberadaan Allah SWT yang berada di atas langit dan bukan di bumi, maka dia bukanlah seorang mukmin. Tidakkah engkau perhatikan bagaimana Rasulullah SAW telah menjadikan tanda keimanannya (budak perempuan) tersebut adalah pengetahuannya tentang keberadaan Allah SWT di atas langit.

Penjelasan tentang istiwa’ (bersemayam) Allah SWT di atas ‘Arsy di langit-Nya telah dditegaskan oleh Allah SWT sendiri di tujuh tempat dalam Al-Quran; (1) S.Thaha ayat 5, (2)S.Al-A’raf ayat 54, (3)S.Yunus ayat 3, (4)S.Ar-Ra’du ayat 2, (5)S.Al-Furqan ayat 59, (6)S.As-Sajdah ayat 4 dan (7)S.Al-Hadid ayat 4.

Mazhab salaf dan orang-orang yang mengikuti mereka, seperti iman yang empat: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, dan iman-iman yang lainnya, termasuk imam Abul Hasan Al-Asy’ary, mereka berkeyakinan sama dan mengimani keberadaan Allah SWT di atas langit danbersemayam di ‘Arsy-Nya sesuai dengan kebesaran dengan keagungan-Nya.

Dalam kitab Minhaj Al-Firqah An-Najiah karya Syaikh Muhammad Jamil Zainu Hafidzahullah, beliau menukilkan beberapa ungkapan ulama dari kalangan As-Salafush Sholeh tentang keberadaan Allah SWT di atas ‘Arsy-Nya, diantaranya:

Imam Al-Auza’iy, berkata, “ kami dari kalangan tabi’in mengatakan; sesungguhnya Allah SWT yang Maha Mulia sebutan-Nya berada di atas ‘Arsy-Nya, kami mengimani sifat-sifat-Nya sebagaimana apa adanya menurut sunnah Rasulullah SAW.

Imam Abu Hanifah ra, berkata, “barangsiapa yang berkata saya tidak tahu apakah Rabbku berada di langit atau di bumi, maka sungguh dia bukan seorang muslim, karena Allah SWT sesungghunya telah berfirman, artinya: Dzat Yang Maha Pengasih bersemayam di atas ‘Arsy, dan ‘Arsy-Nya itu berada di atas langit yang ke tujuh, jika dia mengatakan; sesungguhnya Dia (Allah) di atas ‘Arsy-Nya bersemayam, akan tetapi saya tidak tahu apakah ‘Arsy itu berada di langit di bumi, maka dia juga bukan seorang muslim, karena sesungguhnya dia telah mengingkari bahwa Dia (Allah) berada di atas langit. Dan barangsiapa yang mengingkari keberadaan-Nya di langit,berarti dia telah kufur, karena sesungguhnya Allah adalah adalah Dzat yang paling tinggi di atas segala yang tinggi, dan para Hamba-Nya meminta (berdo’a) kepada-Nya dengan menengadahkan tangan ke atas dan bukan ke bawah.

Imam Asy-Syafi’i, berkata, “ sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya di atas langit-Nya, Dia mendekatkan kepada Makhluk-Nya, (bagaimanapun caranya sesuai dengan yang Dia kehendaki, dan sesungguhnya Allah turun ke langit dunia (langit pertama), (bagaimanapu carannya) sesuai dengan yang Dia kehendaki”.

Imam Malik, ketika beliau ditanya tentang bagaimana caranya “istiwa”(bersemayam) Allah di atas ‘Arsy-Nya, beliau menjawab: “istiwa”maknanya sudah jelas, sedangkan bagaimana cara Allah ber-istiwa di atas ‘Arsy-Nya tidak dapat diketahui, beriman dengan sifat Istiwa’ Allah SWT ini adalah wajib dan bertanya tentang hal itu (yaitu bagaimana cara Allah ber-istiwa’ di atas’Arsy-Nya) adalah bid’ah. Lalu Imam Malik, memerintahkan agar orang bertanya tersebut dikeluarkan dari majlisnya, sebab dia telah ragu dengan salah satu sifat Allah SWT yaitu Allah SWT ber-Istiwa’ di atas ‘Arsy-Nya, sedangkan hal itutidak pernah ditanyakan oleh generasi sebelum mereka.

Imam Ibnu Khuzaimah (beliau ini imamnya dari para Imam), berkata, di dalam kitabnya At-Tauhid; “Kami beriman denagn pemberitaan dari wahyu dari Allah SWT, sesungguhnya pencipta kami (Allah SWT), Dia berada di atas ‘Arsy-Nya,kami tidak akan mengubah firman Allah tentang hal ini, perkataan yang tidak pernah dikatakan oleh Allah kepada kami,(tidak) sebagaimana kaum yang menghilangkansifat-sifat Allah sebagai kaum Jahmiyyah yang telah berkata: sesungguhnya Allah Istaula (berkuasa) di atas ‘Arsy bukan Istawa (bersemayam), mereka ini dengan lancangnya telah mengubah firman Allah SWT yang tidak pernah diucapkan Allah kepada mereka, (sikap mereka seperti ini) persis sebagaimana kaum Yahudi yang telah diperintahkan oleh Allah SWT untuk mengucapkan perkataan: Hinthotun (gandum), seperti itulah kaum Jahmiyyah”. (Abu Abdillah Dzahabi).




 Sumber: An-Nur

No comments:

Post a Comment